Senin, 22 Oktober 2012

Wanita Itu Mengecup Pipiku



"Setelah mengantarkannya pulang tak ku sangka wanita itu mengkecup lembut pipiku, terlihat begitu sederhana tapi sangat bermakna dalam hidupku", ucap husin di lubuk hati terdalamnya







Sudah menjadi kebiasaan para santri untuk melakukan tanzīful ām (bersih-bersih) setiap pagi Minggu. Pagi itu Husin di minta oleh Ust Samsul untuk membantunya mengantarkan anak muridnya menuju tempat perlombaan “hari ini ada perlombaan memasak”, kata ust Samsul dengan tegas, seakan-akan ini adalah sebuah perintah yang tak bisa Husin hindari. Dengan segera Husin pun meminta izin ke pada bagian kebersihan untuk menemani ust Samsul menjemput anak muridnya.
                Ustadz Samsul memang terkenal bengis, tapi ia mempunyai sifat toleril yang sangat tinggi. Untuk tidak membuat ust Samsul menunggu lama Husin segera mengganti baju kaosnya dengan baju kemeja yang biasa ia bawa kekampus. Ketika Husin siap untuk berangkat, datanglah Najib, teman yang kamarnya tak begitu jauh dengan Husin. Tarnyata Ust Samsul membutuhkan 3 motor untuk membawa semua muridnya.
                Husin berangkat menuju lokasi, dalam perjalanan sempat kelabakan sih mengejar mereka, motor yang kunaiki tak sepantar dengan yang mereka punya, mau tak mau Husin harus bersih keras untuk bisa menyusul ketinggalannya. Semakin lama perjalanan yang di tempuh semakin jauh Husin ketinggalan, walau begitu Husin mempunyai insting yang kuat, ia terus mengebut tanpa mengetahui arah jalan yang harus ia tempuh.
                Ketika Husin tak tau lagi harus kemana ia pergi, ia mematikan motornya sejenak dan mengambil hape yang terdapat pada saku celananya, betapa terkejutnya Husin ketika melihat hapenya, ternyata ia berada pada kawasan yang sulit di jangkau, singalnya begitu lemah. Dengan galaunya ia terus memutari sebuah gedung. Tanpa ia sadari, ternyata di dalam gedung itu banyak gadis yang sedang memperhatikannya.
                Tak lama setelah Husin menyadari akan hal itu, dengan keadaan yang sedikit kacau ia cepat menghidupkan kembali motornya untuk menuju tempat yang belum pasti keberadaanya. “TIIINNN, TIIINNN, TIIINNN” suara kelakson yang tak asing bagi telinga Husin terdengar tepat di belakangnya. Tepat sekali, suara kelakson itu adalah bunyi dari motor ust Samsul. “Sudah sampai kamu Sin” dengan muka keheranan aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri “kok bisa, padahal tadi perasaanku mengatakan, aku ketinggalan pada mereka“. Dengan segera ustadz Samsul mengajakku masuk ke gedung yang ku putari tadi, beliau mengajak beberapa wanita yang telah ia pilih untuk menjadi peserta lomba masak.
                Tanpa basa-basi, ust samsul mempersilahkan seorang wanita yang bukan mahram bagi Samsul untuk menumpang di motornya, yah anggap aja ini sebuah perintah dari seorang guru pada muridnya, dalam perjalanan pergi menuju lokasi perlombaan, sapatah katapun tak keluar dari bibir Husin, ia terus menjaga martabatnya, ia selalu berpikir tentang moto hidupnya “HARGA DIRI TAK SEMURAH MAS MURNI”, perjalanan itu terasa sedikit menggerahkan, wanita yang di bonceng Husin selalu berupaya untuk memegang pinggangnya. Padahal Husin adalah tipe pria yang sangt penggeli, maksud dari wanita itu sebenarnya baik, tapi dengan segera ia menyadari bahwa Husin tak tahan terhadap geli.
                Setibanya Husin di tempat perlombaan, masing-masing kelompok telah mempersiapkan bahan yang akan di gunakan. Saya sangat terkecut, ketika melihat para musuhnya ternyata sangat formal dan meyakinkan, tampak agak sedikit pesimis pada muka ust Samsul. Semua peserta menggunakan seragam yang meyakinkan, sedangkan Husin tampil apa adanya. Mereka tampil dengan pemimbing yang ahli di bidang memasak, sedangkan Husin hanya mempunyai 3 orang yang ahli di lain bidang. Mereka tampil dengan peralatan canggih dan lengkap, sedangkan Husin hanya membawa panci penyot dan piring.
                Semua itu Husin lewati dengan penuh happy kecuali ust Samsul, ia tampak sedikit pucat memikirkan persiapan lawannya. Sebelum memulai perlombaan masing-masing 5 peserta dan 1 pemimbing diperintahan untuk bersiap-siap pada tempatnya. Seluruh panitia menyediakan peralatan untuk peserta, disamping panitia menyiapkan alat perlombaan, dewan juri membacakan krateria penilaian dengan singkat. Seorang panitia yang memeriksa peralatan kompor Husin mengangkat tangan dan menyatakan bahawa kompor kelompok 7 tidak bisa digunakan. Tak lama kemudian datang panitia lain membawa kompor yang hampir sama dan mencoba kembali tuk menghidupkan, ternyata kompor itu bisa hidup tapi tak bisa mati, gas yang begitu kencang mengeluarkan api yang besar, semua panitia, peserta, maupun dewan juri dengan segera memadamkan api tersebut yang pada akhirnya Husin memakai kompor yang paling terakhir.
                Meskipun kompor terakhir, tapi terlihat masih seperti baru, baru mau rusak. Rasa percaya diri ust Samsul semakin menghilang tapi, terlihat sebaliknya, anak didiknya begitu semangat. Perlombaan di mulai, semua memulai menghidupkan api, memasak, mengeluarkan bumbu yang ada. Terlihat kelompok ust Samsul yang paling sederhana, mereka hanya mengeluarkan panci hitam yang sudah penyot, sebungkus mi kuah, dan beberapa butir telur. Dengan durasi waktu 45 menit semua kelompok berusaha bekerja sama, dan saling tolog menolong. Singkat kata singkat cerita, 45 menit terasa begitu cepat, semua kelompok dipersilahkan untuk mempersembahkan masakannya kepada dewan juri.
                Setiap kelompok mempersembahkan masakan yang terakreditasi dan mempesona, semua berkelas dan layak di tampilkan di lestoran. Sampai tiba pada kelompok ust Samsul, terlihat senyum kecil kece dari dewan juri, terlihat sosis yang di gulung dengan telur dan mie gosong, berbaris seperti kuburan cina, terdengar oleh peserta “rasanya enak, penataanya rapi, semangatnya oke, dan kekompakannya bagus”, seakan-akan tidak ada cela pada masakan itu, tapi Husin semua sadar, itu hanya sekedar penenang agar tidak kecewa terhadap masakan yang telah susah paya di masak.
                Pengumuman juara dipanggil satu-persatu, tentu kelompak ust Samsul tidak menjadi juara “tenang aja kita itu juara 4, tapi karena gak ada juara 4 kita tak di panggil”, ucapku menyemangati. Setelah penilaian dewan juri semua pembimbing membareskan perlengkapan memasaknya. Berbeda dengan Husin, wanita-wanita iitu membereskan sendiri alatnya tanpa meminta bantuan kepada ust Samsul. Terlihat dewan juri mengarah kepada Husin dan mengangkat kedua jempol mereka. Setidaknya kejadian tadi membuat Ust samsul sedikit legah dan senang, senyuman yang tadi sempat senyap kini timbul kembali.
                Di jalan menuju pulang, ust Samsul menyuruh Husin untuk mengembalikan wanita-wanita itu kembali pada rumahnya. Seorang wanita yang terlihat begitu manis, kulit putih bercahaya, hidung mancung memanjang, bibir tipis berwarna ping lembut. Ia menaiki motor Husin dengan segera dan meminta untuk mengantarkannya kerumah. Diperjalanan Husin banyak berbicara, sepertinya Husin mulai akrab dengan wanita itu.
                Perjalanan menjadi begitu singkat, tak terasa perjalanan satu setengah jam itu terasa seperti beberapa menit. Sesampai di rumah wanita itu mengkecup pipi Husin dengan cepat dan menyampaikan terima kasihnya atas semua yang telah Husin berikan padanya, seketika itu muka Husin memerah, pikirannya melayang entah kemana, tak sempat memikirkan apa-apa ia segera memutar motornya untuk melanjutkan perjalanan pulang dan menuliskan kisah ini.








*Wanita itu bernama fatimah, salah satu murid TPA ust Samsul yang usianya berkisar 6 hingga 7 tahun. 

Memulai Bisnis Mentok (Sebuah Tulisan Amatir)

Dengan berbagai alasan melihat situasi dan kondisi di perdesaan, akhirnya saya mencoba untuk berternak entok. Pada dasarnya entok diterna...