Senin, 14 Januari 2013

PUTRI MALAKA


PUTRI MALAKA*
                Penduduk Kampung Batu gampir telah mendapatkan kabar bahwa hari itu kampung mereka akan dilalui oleh rombongan Putri Malaka. Karenanya, pada hari itu mereka telah berkumpul di pinggir jalan yang akan dilalui oleh sang putri yang terkenal kecantikannya ke seluruh kesultanan melayu itu.
            Tidak lama kemudian rombongan Putri Malaka sudah tampak oleh mereka. Suara nobat dan nafiri terdengar semakin nyaring mengiringi kedatangan rombongan tersebut. Tampaklah kereta kuda sang Putri yang diiringi oleh 30 prajurit Aceh dan 20 prajurit Riak Damai. Rupanya sang putri baru saja mengunjungi sultan Aceh dan kini ia bermaksud mengunjungi sultan Riak Damai di kerajaannya.
            Rakyat segera berlutut tatkala rombongan putri datang. Tiba-tiba saja terjadi keributan kecil. Ternyata sumber keributan itu adalah Bujang yang tidak mau berlutut meskipun beberapa prajurit memaksanya untuk belutut. Keributan itu di dengar oleh sang putri sehingga ia menyuruh rombongan agar berhenti.
            “Paman, ada keributan apa??” tanya sang putri.
            “Ampun, tuan putri. Ada seseorang pemuda yang tidak mau berlutut dan menundukkan kepalanya. Kami sudah memaksanya, tetapi ia melawan,” ujar ketua prajurit agak ketakutan.
            “Bawalah ia kehadapanku !!!”
            “Daulat, tuan putri.”
            Prajurit itupun menyuruh anak buahnya untuk mendatangkan Bujang ke depan hadapan Putri Malaka. Maka, dua prajurit segera membawa Bujang kehadapan tuan putri. Bujang tampak tenang-tenang saja dibawa menghadap kepada tuan putri. Tak lama kemudian , ia pun sampai pada kereta kuda tuan putri.
            “Berlutut, ayo berlutut!! Tundukkkan kepala!!” perintah ketua prajurit setengah membentak.
            “Bagaimana berlututnya?? Aku tidak tau,” ujar Bujang lugu.
            “Bodoh, begini cara berlutut,” ucap ketua prajurit sambil menundukkan kepala memberi contoh kepada bujang. “sudah kau liat bagaimana cara berlututnya??”.
            “Ya, aku meluhatnya. Kau emang pantas berlut seperti itu, tetapi aku tidak pantas.” Ledek Bujang.
            “Kau,,,!!!”
            “Paman biarkan ia berdiri !!” perintah Putri Malaka dari dalam kereta. Lalu sang Putri Malaka pun keluar dengan dua orang prajurit wanita.
            Putri Malaka kini sudah berada di hadapan Bujang. Di bibirnya masih tersisa senyuman karena mendengar perdebatan Bujang dengan ketua prajurit. Ternyata putri adalah wanita yang anggun dan berwibawa. Sehingga Bujang pun akhirnya menundukkan kepalanya.
            “Siapa namamu saudara??” tanya Putri Malaka.
            “Ampun tuan putri. Nama hamba Nurddin, tapi biasa dipanggil si Bujang.”
            “Hai Bujang, mengapa engkau tidak mau berlutut??”
            “Ampun, tuan putri. Menurut hamba, tuanlah yang pantas berlutut, bukan hamba,” jawab Bujang dengan tenangnya.
            “Kurang ajar,,!!” carut ketua prajurit.
            “Diamlah paman, !!” perintah Putri Malaka. “Saudara bujang, mengapa aku yang pantas berlutut??”
            “Ampun tuan putri, jika pakaian tuanku kotor karena berlutut, tanku bisa menggantinya dengan yang pakaian yang lain. Sedangkan hamba, jika hamba yang berlutut, maka pakaian apa lagi yang hamba gunakan untuk shalat??” tanya Bujang.
            Sang putri diam sejenak. Ia memandangi Bujang dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Dalam hatinya, ia mengakui apa yang dikatakan Bujang. Kelusuhan pakaian yang di kenakan Bujang sudah membuktikan kebenaran yang telah ia katakan.
            “Lalu mengapa kau berani melihatku dan rombongan, padahal engkau mengetahui itu dilarang??” tanya Putri Malaka lagi.
            “Ampun taunku, jika tuan putri tidak mau dilihat orang, mengapa tuan putri tidak berjalan di depan orang buta saja??” tanya Bujang yang masih menundukkan kepalanya.
            “Pengawal, kita lanjutkan perjalanan.!!”
            Putri Malaka kembali menaiki kereta kudanya. Rombongan itu pun melanjutkan perjalanannya diiringi suara nobat dari nafiri. Setelah rombongan itu jauh, maka orang-orang segera mengerumuni Bujang. Di antara mereka ada yang memuji keberanian Bujang ada pula yang menasehatinya. Bujang hanya tersenyum-senyum saja mendengar semua itu. Kemudian ia pun pergi menjauhi kerumunan orang yang masih membicarakannya.


*tulisan ini di ambil dari buku debat + humor islami

Minggu, 06 Januari 2013

Mus'ab Ibnu Umair

 (Persembahan untuk Agama)
Oleh: Andi Musthafa Husain


“Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.
(QS Ali ‘Imrān [3]: 133)

       
                Alkisah, tentang seorang sahabat Rasulullah yang bernama Mus’ab ibnu ‘Umair. Di zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang juragan Nasrani yang kaya-raya. Ia hanya memiliki satu-satunya anak kesayangan yang diberi nama Mus’ab ibnu ‘Umair. Sebagai anak tunggal, Mus’ab selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Semenjak kecil, orangtuanya selalu mengajarkan ia menjadi anak yang rapi, bersih, dan jujur.
                Di masa remajanya, Mus’ab selalu menjadi bintang di daerahnya. Manusia yang dianugrahi ketampanan yang luar biasa ditambah lagi dengaan kecerdasan yang mapan. Pada suatu ketika, orang yang wanginya mencapai jarak 100 meter dari jarak keberadaannya ini, berjalan-jalan di kota Madinah. Ia melihat Rasulullah sedang berjalan menuju suatu tempat yang biasanya untuk penyebaran agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
                Rasa ingin tahu Mus’ab seketika itu juga meluap. Ia berusaha mendengarkan pembicaraan kaum muslimin dari jarak kejauhan. Namun, Rasulullah mengetahui hal itu, dan segera memanggil Mus’ab untuk bergabung dalam forum. Dengan rasa takut berbaur dengan malu, Mus’ab melangkahkan kakinya menuju panggilan Rasulullah salallāhu ‘alaihi wa sallām. Ketangkasan otak Mus’ab dalam berpikir merespon cepat terhadap apa-apa yang diajarkan oleh baginda Rasulullah. Kata demi kata ia pahami dengan cermat dan tangkas.
                Keesokan harinya, Mus’ab ibnu ‘Umair bangun pagi dan segera mencari Rasulullah dan menyatakan syahadatnya, “Asyhadu anlāiāhaillalahi wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullahi.” Kata itu spontanitas keluar dari mulut Mus’ab. Tanpa ragu dan banyak basa-basi Mus’ab menyatakan keIslamannya. Akan tetapi, ia berusaha menyembunyikan keIslamannya dari keluarga dan karib sahabatnya. Mus’ab tahu bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk menyampaikan keIslamannya tersebut.
                Suatu ketika, salah seorang sahabat Mus’ab melihatnya sedang bersama orang-orang muslim dan melaporkan pada keluarga Mus’ab. Ketika pulang, Mus’ab langsung dipukuli oleh kedua orang tuanya. Memar pada tangan badan dan kakinya mulai kelihatan pada kulit putihnya. Mus’ab berusaha menjelaskan semuanya, akan tetapi tetap saja ia di pukuli. ‘Umair sangat marah pada mus’ab dan mengusir anaknya sendiri dari rumah.Mulai sekarang kamu bukan lagi anakku, silahkan ikuti agama Muhammad,” ucap ‘Umair tanpa pikir panjang. Ia sangat kesal mendengar anak kesayangannya telah berpaling darinya dan memeluk agama Muhammad.
                Semenjak itu, Mus’ab mulai menghidupi dirinya sendiri. Bukan tidak mampu menjadi kaya, akan tetapi ia selalu mendahulukan orang lain yang lebih membutuhkan hartanya. Kebaikannya inilah yang membuat Mus’ab semakin miskin. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahunpun bergantikan tahun, umat Islam yang dahulunya agama yang kecil menjadi sangat besar dan tidak bisa diremehkan lagi kekuatannya.
                Mus’ab yang dahulunya orang kaya kini menjadi miskin. Orang yang dahulunya serba apa adanya kini menjadi apa adanya. Ketampanannya yang membumi kini telah lenyap. Semua itu dia persembahkan untuk agamanya. Hal ini membuat Mus’ab dicintai masyarakatnya. Sifatnya yang dahulu sedikit kikir, kini menjadi pribadi yang setia kepada siapa saja. Bukan hanya orang muslim, bahkan dengan orang kafirpun ia berbuat baik. Mus’ab mengamalkan ajaran agamanya untuk berbuat baik kepada siapa saja, menunjukkan bahwa agama Islam rahmatan lilālamīn.
                Sampai suatu ketika, umat Islam mendapatkan panggilan untuk perang. Perang pertama bernama perang Badar, perang yang tidak seimbang antara umat Islam dan kaum kafir kurais. Pada peperangan ini umat Islam hanya berjumlah 300 orang saja, sedangkan orang kafir berjumlah sekitar 1000 pasukan. Hal ini tidak jadi permasalahan bagi umat Islam, karena umat Islam yakin dengan segala kemampuannya.
                Perbedaan kaum kafir dan umat Islam adalah bagi kaum kafir peperangan ini untuk mencari kemerdekaan. Mereka menginginkan hidup yang lebih baik, ingin lebih tenang, ingin mencari harta, dan kuda perang. Sedangkan kaum muslim, mereka menginginkan jihad, yang mereka cari adalah ridha Allah. Mereka menyerang mencari mati, kaum muslim menginginkan syahid di jalan Allah.
                Oleh karena perbedaan inilah umat Islam menyerang bagaikan singa padang pasir yang menyarang mangsanya. Umat Islam bukan ingin mencari duniawi. Akan tetapi umat Islam ingin mati syahid. Walaupun umat Islam kalah jumlah pada peperangan Badar, tapi mereka memenangkan peperangan tersebut. Umat Islam membuat semua orang kafir terkejut akan kekuatannya, yang pada akhirnya membuat kaum kafir untuk mengakui kekalahannya.
                Kaum kafir tidak menerima akan hal ini, mereka menyatakan perang untuk kedua kalinya. Perang tersebut diberi nama perang Uhud. Diberi nama perang Uhud karena peperangan ini terjadi di sekitar gunung Uhud. Kali ini umat muslim memberikan amanah kepada Mus’ab sebagai pemegang panji Islam. Mus’ab merasa sangat terhormat untuk mendapatkan tugas tersebut.
                Pada peperangan ini Rasulullah salallāhu ‘alaihi wa sallām memerintahkan beberapa dari pemanah handal untuk menjaga gunung Uhud. Rasulullah terlihat sangat serius untuk menyuruh para pemanah. “Janganlah kalian tinggalkan gunung Uhud, walau apapun yang terjadi.” Begitulah kata yang terlontarkan dari lisan nabi besar kita itu. Bukan hanya umat muslim yang mempunyai strategi dalam peperangan, kaum kafir juga memiliki beberapa taktik perang untuk mengalahkan umat Islam. Kaum kafir membagi pasukannya menjadi dua pasukan. Pasukan pertama menyerang langsung dari depan, sedangkan pasukan kedua menyerang melalui belakang dengan cara memutari gunung Uhud.
                “ALLAHU AKBAR!” Kata-kata inilah yang membuat umat Islam dari kuat menjadi tak terkalahkan. Di awal peperangan, umat Islam sudah mendominasi kaum kafir. Hal ini membuat para pemanah tergiur untuk turun mengambil rampasan perang. Hanya beberapa di antara mereka yang masih tinggal di gunung Uhud. Tanpa mereka sadari, ternyata kaum kafir telah berada di belakang mereka. Kini keadaan berbalik, umat muslim terperangkap di tengah tengah kaum kafir.
                Mus’ab ibnu ‘Umair yang pada waktu itu memengang panji Islam diserang oleh pemimpin kafir. Serangan pertama tepat mengenai tangan kanan Mus’ab. Rasa pedih itu tidak sama sekali terlihat di mukanya. Dengan segera ia berdiri dan mengambil kembali panji Islam. Melihat akan hal itu pemimpin kafir tersebut dengan segera memutar kudanya dan menebaskan pedangnya pada tangan kiri Mus’ab. Kini Mus’ab tidak memiliki tangan sama sekali. Darah tanpa berhenti mengalir melalui lengan atasnya yang tersisa.
                Mus’ab terus berusaha berdiri dengan segenap kemampuan yang ada dan menggenggam erat panji Islam yang ditempelkan di badannya. Melihat akan hal itu pemimpin kafir sangat marah dan mulai mengejar kembali ke arah Mus’ab dan melemparkan tombak ke arah dadanya. Kini Mus’ab tidak bisa berkata-kata. Tombak itu tepat menembus badannya yang sudah tak berdaya. Perlahan lahan ia terjatuh dengan tetap memegang erat panji Islam di dadanya.
                Ya Allah kami berdo’a kepada-Mu. Semoga kami temaksud golongan orang-orang yang Engkau ridhoi. Semoga kami tetap berada pada jalan yang benar. Masukkanlah kami pada surga-Mu bersama para syuhada’ yang telah berjuang mati-matian membela agama-Mu. Ya Allah, kami hanyalah makhluk-Mu yang lemah. Oleh karena itu, tolonglah hamba-Mu ini dalam menjalani hidupnya. Amiiin...Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []

Andi Musthafa Husain,
Alumni Pon Pes as-Salam al-Islami
Santri pp uii

Memulai Bisnis Mentok (Sebuah Tulisan Amatir)

Dengan berbagai alasan melihat situasi dan kondisi di perdesaan, akhirnya saya mencoba untuk berternak entok. Pada dasarnya entok diterna...