PUTRI
MALAKA*
Penduduk Kampung Batu gampir telah
mendapatkan kabar bahwa hari itu kampung mereka akan dilalui oleh rombongan Putri
Malaka. Karenanya, pada hari itu mereka telah berkumpul di pinggir jalan yang
akan dilalui oleh sang putri yang terkenal kecantikannya ke seluruh kesultanan
melayu itu.
Tidak lama kemudian rombongan Putri
Malaka sudah tampak oleh mereka. Suara nobat dan nafiri terdengar semakin
nyaring mengiringi kedatangan rombongan tersebut. Tampaklah kereta kuda sang
Putri yang diiringi oleh 30 prajurit Aceh dan 20 prajurit Riak Damai. Rupanya
sang putri baru saja mengunjungi sultan Aceh dan kini ia bermaksud mengunjungi
sultan Riak Damai di kerajaannya.
Rakyat segera berlutut tatkala
rombongan putri datang. Tiba-tiba saja terjadi keributan kecil. Ternyata sumber
keributan itu adalah Bujang yang tidak mau berlutut meskipun beberapa prajurit
memaksanya untuk belutut. Keributan itu di dengar oleh sang putri sehingga ia
menyuruh rombongan agar berhenti.
“Paman, ada keributan apa??” tanya
sang putri.
“Ampun, tuan putri. Ada seseorang
pemuda yang tidak mau berlutut dan menundukkan kepalanya. Kami sudah
memaksanya, tetapi ia melawan,” ujar ketua prajurit agak ketakutan.
“Bawalah ia kehadapanku !!!”
“Daulat, tuan putri.”
Prajurit itupun menyuruh anak
buahnya untuk mendatangkan Bujang ke depan hadapan Putri Malaka. Maka, dua
prajurit segera membawa Bujang kehadapan tuan putri. Bujang tampak
tenang-tenang saja dibawa menghadap kepada tuan putri. Tak lama kemudian , ia
pun sampai pada kereta kuda tuan putri.
“Berlutut, ayo berlutut!! Tundukkkan
kepala!!” perintah ketua prajurit setengah membentak.
“Bagaimana berlututnya?? Aku tidak
tau,” ujar Bujang lugu.
“Bodoh, begini cara berlutut,” ucap
ketua prajurit sambil menundukkan kepala memberi contoh kepada bujang. “sudah
kau liat bagaimana cara berlututnya??”.
“Ya, aku meluhatnya. Kau emang
pantas berlut seperti itu, tetapi aku tidak pantas.” Ledek Bujang.
“Kau,,,!!!”
“Paman biarkan ia berdiri !!”
perintah Putri Malaka dari dalam kereta. Lalu sang Putri Malaka pun keluar
dengan dua orang prajurit wanita.
Putri Malaka kini sudah berada di
hadapan Bujang. Di bibirnya masih tersisa senyuman karena mendengar perdebatan
Bujang dengan ketua prajurit. Ternyata putri adalah wanita yang anggun dan
berwibawa. Sehingga Bujang pun akhirnya menundukkan kepalanya.
“Siapa namamu saudara??” tanya Putri
Malaka.
“Ampun tuan putri. Nama hamba
Nurddin, tapi biasa dipanggil si Bujang.”
“Hai Bujang, mengapa engkau tidak
mau berlutut??”
“Ampun, tuan putri. Menurut hamba,
tuanlah yang pantas berlutut, bukan hamba,” jawab Bujang dengan tenangnya.
“Kurang ajar,,!!” carut ketua
prajurit.
“Diamlah paman, !!” perintah Putri
Malaka. “Saudara bujang, mengapa aku yang pantas berlutut??”
“Ampun tuan putri, jika
pakaian tuanku kotor karena berlutut, tanku bisa menggantinya dengan yang
pakaian yang lain. Sedangkan hamba, jika hamba yang berlutut, maka pakaian apa
lagi yang hamba gunakan untuk shalat??” tanya Bujang.
Sang putri diam sejenak. Ia
memandangi Bujang dari ujung kaki hingga ke ujung rambut. Dalam hatinya, ia
mengakui apa yang dikatakan Bujang. Kelusuhan pakaian yang di kenakan Bujang
sudah membuktikan kebenaran yang telah ia katakan.
“Lalu mengapa kau berani melihatku
dan rombongan, padahal engkau mengetahui itu dilarang??” tanya Putri Malaka
lagi.
“Ampun taunku, jika tuan putri
tidak mau dilihat orang, mengapa tuan putri tidak berjalan di depan orang buta
saja??” tanya Bujang yang masih menundukkan kepalanya.
“Pengawal, kita lanjutkan
perjalanan.!!”
Putri Malaka kembali menaiki kereta
kudanya. Rombongan itu pun melanjutkan perjalanannya diiringi suara nobat dari
nafiri. Setelah rombongan itu jauh, maka orang-orang segera mengerumuni Bujang.
Di antara mereka ada yang memuji keberanian Bujang ada pula yang menasehatinya.
Bujang hanya tersenyum-senyum saja mendengar semua itu. Kemudian ia pun pergi
menjauhi kerumunan orang yang masih membicarakannya.
*tulisan ini di ambil dari buku debat + humor islami