(Persembahan untuk Agama)
Oleh: Andi
Musthafa Husain
“Dan
bersegeralah kamu kepada ampunan
dari Tuhanmu dan kepada surga yang luasnya seluas langit dan bumi yang
disediakan untuk orang-orang yang bertakwa.”
(QS Ali ‘Imrān
[3]: 133)
Alkisah, tentang seorang sahabat Rasulullah yang
bernama Mus’ab ibnu ‘Umair. Di zaman Rasulullah SAW hiduplah seorang juragan
Nasrani yang kaya-raya. Ia
hanya memiliki satu-satunya anak kesayangan yang diberi nama Mus’ab ibnu
‘Umair. Sebagai anak tunggal, Mus’ab selalu mendapatkan apa yang ia inginkan. Semenjak
kecil, orangtuanya selalu mengajarkan ia menjadi anak yang rapi, bersih, dan jujur.
Di masa
remajanya, Mus’ab selalu menjadi bintang di daerahnya. Manusia yang dianugrahi
ketampanan yang luar biasa ditambah lagi dengaan kecerdasan yang mapan. Pada
suatu ketika, orang yang wanginya mencapai jarak 100 meter dari jarak
keberadaannya ini, berjalan-jalan di kota Madinah.
Ia melihat Rasulullah sedang berjalan menuju suatu tempat yang biasanya untuk
penyebaran agama Islam secara sembunyi-sembunyi.
Rasa ingin tahu Mus’ab seketika itu juga meluap. Ia berusaha mendengarkan
pembicaraan kaum muslimin dari jarak kejauhan. Namun, Rasulullah mengetahui hal
itu, dan segera memanggil Mus’ab untuk bergabung dalam forum. Dengan rasa takut berbaur dengan
malu, Mus’ab
melangkahkan kakinya menuju panggilan Rasulullah salallāhu ‘alaihi wa sallām. Ketangkasan
otak Mus’ab dalam berpikir merespon cepat terhadap apa-apa yang diajarkan oleh
baginda Rasulullah. Kata demi kata ia pahami dengan cermat dan tangkas.
Keesokan harinya, Mus’ab ibnu
‘Umair bangun pagi dan segera mencari Rasulullah dan menyatakan syahadatnya, “Asyhadu
anlāiāhaillalahi wa asyhadu anna Muhammadan Rasulullahi.” Kata itu spontanitas
keluar dari mulut Mus’ab. Tanpa ragu dan banyak basa-basi Mus’ab menyatakan keIslamannya.
Akan tetapi, ia berusaha menyembunyikan keIslamannya dari keluarga dan karib
sahabatnya. Mus’ab tahu bahwa sekarang bukanlah waktu yang tepat untuk
menyampaikan keIslamannya tersebut.
Suatu ketika, salah seorang sahabat
Mus’ab melihatnya sedang bersama orang-orang muslim dan melaporkan pada
keluarga Mus’ab. Ketika pulang, Mus’ab langsung dipukuli oleh kedua orang tuanya. Memar pada tangan badan
dan kakinya mulai kelihatan pada kulit putihnya. Mus’ab berusaha menjelaskan
semuanya, akan tetapi tetap saja ia di pukuli. ‘Umair sangat marah pada mus’ab
dan mengusir anaknya sendiri dari rumah.
“Mulai sekarang kamu bukan
lagi anakku, silahkan ikuti agama Muhammad,”
ucap ‘Umair tanpa pikir panjang. Ia sangat kesal mendengar anak kesayangannya
telah berpaling darinya dan
memeluk agama Muhammad.
Semenjak itu, Mus’ab mulai menghidupi dirinya sendiri.
Bukan tidak mampu menjadi kaya, akan tetapi ia selalu mendahulukan orang lain
yang lebih membutuhkan hartanya. Kebaikannya inilah yang membuat Mus’ab semakin
miskin. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan berganti bulan, tahunpun
bergantikan tahun, umat Islam yang dahulunya agama yang kecil menjadi sangat
besar dan tidak bisa diremehkan lagi kekuatannya.
Mus’ab yang dahulunya orang kaya
kini menjadi miskin. Orang yang dahulunya serba apa adanya kini menjadi apa
adanya. Ketampanannya yang membumi kini telah lenyap. Semua itu dia
persembahkan untuk agamanya. Hal ini membuat Mus’ab dicintai masyarakatnya. Sifatnya
yang dahulu sedikit kikir, kini menjadi pribadi yang setia kepada siapa saja.
Bukan hanya orang muslim, bahkan dengan orang kafirpun ia berbuat baik. Mus’ab
mengamalkan ajaran agamanya untuk berbuat baik kepada siapa saja, menunjukkan
bahwa agama Islam rahmatan lilālamīn.
Sampai suatu
ketika, umat Islam mendapatkan panggilan untuk perang. Perang pertama bernama
perang Badar, perang yang tidak seimbang antara umat Islam dan kaum kafir
kurais. Pada peperangan ini umat Islam hanya berjumlah 300 orang saja,
sedangkan orang kafir berjumlah sekitar 1000 pasukan. Hal ini tidak jadi
permasalahan bagi umat Islam, karena umat Islam yakin dengan segala
kemampuannya.
Perbedaan kaum kafir dan umat Islam
adalah bagi kaum kafir peperangan ini untuk mencari kemerdekaan. Mereka
menginginkan hidup yang lebih baik, ingin lebih tenang, ingin mencari harta,
dan kuda perang. Sedangkan kaum muslim, mereka menginginkan jihad, yang mereka
cari adalah ridha Allah. Mereka menyerang mencari mati, kaum muslim
menginginkan syahid di jalan Allah.
Oleh karena perbedaan inilah
umat Islam menyerang bagaikan singa padang pasir yang menyarang mangsanya. Umat
Islam bukan ingin mencari duniawi. Akan tetapi umat Islam ingin mati syahid.
Walaupun umat Islam kalah jumlah pada peperangan Badar, tapi mereka memenangkan
peperangan tersebut. Umat Islam membuat semua orang kafir terkejut akan
kekuatannya, yang pada akhirnya membuat kaum kafir untuk mengakui kekalahannya.
Kaum kafir tidak menerima akan
hal ini, mereka menyatakan perang untuk kedua kalinya. Perang tersebut diberi
nama perang Uhud. Diberi nama perang Uhud karena peperangan ini terjadi di
sekitar gunung Uhud. Kali ini umat muslim memberikan amanah kepada Mus’ab
sebagai pemegang panji Islam. Mus’ab merasa sangat terhormat untuk mendapatkan
tugas tersebut.
Pada peperangan ini Rasulullah
salallāhu ‘alaihi wa sallām memerintahkan beberapa dari pemanah handal untuk menjaga
gunung Uhud. Rasulullah terlihat sangat serius untuk menyuruh para pemanah. “Janganlah
kalian tinggalkan gunung Uhud, walau apapun yang terjadi.” Begitulah kata yang
terlontarkan dari lisan nabi besar kita itu. Bukan hanya umat muslim yang
mempunyai strategi dalam peperangan, kaum kafir juga memiliki beberapa taktik
perang untuk mengalahkan umat Islam. Kaum kafir membagi pasukannya menjadi dua
pasukan. Pasukan pertama menyerang langsung dari depan, sedangkan pasukan kedua
menyerang melalui belakang dengan cara memutari gunung Uhud.
“ALLAHU AKBAR!” Kata-kata inilah
yang membuat umat Islam dari kuat menjadi tak terkalahkan. Di awal peperangan,
umat Islam sudah mendominasi kaum kafir. Hal ini membuat para pemanah tergiur
untuk turun mengambil rampasan perang. Hanya beberapa di antara mereka yang
masih tinggal di gunung Uhud. Tanpa mereka sadari, ternyata kaum kafir telah
berada di belakang mereka. Kini keadaan berbalik, umat muslim terperangkap di
tengah tengah kaum kafir.
Mus’ab ibnu ‘Umair yang pada
waktu itu memengang panji Islam diserang oleh pemimpin kafir. Serangan pertama
tepat mengenai tangan kanan Mus’ab. Rasa pedih itu tidak sama sekali terlihat
di mukanya. Dengan segera ia berdiri dan mengambil kembali panji Islam. Melihat
akan hal itu pemimpin kafir tersebut dengan segera memutar kudanya dan
menebaskan pedangnya pada tangan kiri Mus’ab. Kini Mus’ab tidak memiliki tangan
sama sekali. Darah tanpa berhenti mengalir melalui lengan atasnya yang tersisa.
Mus’ab terus berusaha berdiri
dengan segenap kemampuan yang ada dan menggenggam erat panji Islam yang ditempelkan
di badannya. Melihat akan hal itu pemimpin kafir sangat marah dan mulai
mengejar kembali ke arah Mus’ab dan melemparkan tombak ke arah dadanya. Kini Mus’ab
tidak bisa berkata-kata. Tombak itu tepat menembus badannya yang sudah tak
berdaya. Perlahan lahan ia terjatuh dengan tetap memegang erat panji Islam di
dadanya.
Ya Allah kami berdo’a kepada-Mu.
Semoga kami temaksud golongan orang-orang yang Engkau ridhoi. Semoga kami tetap
berada pada jalan yang benar. Masukkanlah kami pada surga-Mu bersama para
syuhada’ yang telah berjuang mati-matian membela agama-Mu. Ya Allah, kami
hanyalah makhluk-Mu yang lemah. Oleh karena itu, tolonglah hamba-Mu ini dalam
menjalani hidupnya. Amiiin...” Wallāhu a’lamu bi ash-shawāb. []
Andi Musthafa
Husain,
Alumni Pon Pes as-Salam al-Islami
Santri pp uii