"Setelah mengantarkannya pulang tak ku sangka wanita itu mengkecup lembut pipiku, terlihat begitu sederhana tapi sangat bermakna dalam hidupku", ucap husin di lubuk hati terdalamnya
Sudah menjadi
kebiasaan para santri untuk melakukan tanzīful ām (bersih-bersih)
setiap pagi Minggu. Pagi itu Husin di minta oleh Ust Samsul untuk membantunya
mengantarkan anak muridnya menuju tempat perlombaan “hari ini ada perlombaan
memasak”, kata ust Samsul dengan tegas, seakan-akan ini adalah sebuah perintah
yang tak bisa Husin hindari. Dengan segera Husin pun meminta izin ke pada
bagian kebersihan untuk menemani ust Samsul menjemput anak muridnya.
Ustadz
Samsul memang terkenal bengis, tapi ia mempunyai sifat toleril yang sangat
tinggi. Untuk tidak membuat ust Samsul menunggu lama Husin segera mengganti
baju kaosnya dengan baju kemeja yang biasa ia bawa kekampus. Ketika Husin siap
untuk berangkat, datanglah Najib, teman yang kamarnya tak begitu jauh dengan Husin.
Tarnyata Ust Samsul membutuhkan 3 motor untuk membawa semua muridnya.
Husin
berangkat menuju lokasi, dalam perjalanan sempat kelabakan sih mengejar mereka,
motor yang kunaiki tak sepantar dengan yang mereka punya, mau tak mau Husin
harus bersih keras untuk bisa menyusul ketinggalannya. Semakin lama perjalanan
yang di tempuh semakin jauh Husin ketinggalan, walau begitu Husin mempunyai
insting yang kuat, ia terus mengebut tanpa mengetahui arah jalan yang harus ia
tempuh.
Ketika
Husin tak tau lagi harus kemana ia pergi, ia mematikan motornya sejenak dan
mengambil hape yang terdapat pada saku celananya, betapa terkejutnya Husin
ketika melihat hapenya, ternyata ia berada pada kawasan yang sulit di jangkau,
singalnya begitu lemah. Dengan galaunya ia terus memutari sebuah gedung. Tanpa
ia sadari, ternyata di dalam gedung itu banyak gadis yang sedang memperhatikannya.
Tak
lama setelah Husin menyadari akan hal itu, dengan keadaan yang sedikit kacau ia
cepat menghidupkan kembali motornya untuk menuju tempat yang belum pasti
keberadaanya. “TIIINNN, TIIINNN, TIIINNN” suara kelakson yang tak asing bagi
telinga Husin terdengar tepat di belakangnya. Tepat sekali, suara kelakson itu
adalah bunyi dari motor ust Samsul. “Sudah sampai kamu Sin” dengan muka
keheranan aku terus bertanya-tanya pada diriku sendiri “kok bisa, padahal tadi
perasaanku mengatakan, aku ketinggalan pada mereka“. Dengan segera ustadz
Samsul mengajakku masuk ke gedung yang ku putari tadi, beliau mengajak beberapa
wanita yang telah ia pilih untuk menjadi peserta lomba masak.
Tanpa
basa-basi, ust samsul mempersilahkan seorang wanita yang bukan mahram bagi Samsul
untuk menumpang di motornya, yah anggap aja ini sebuah perintah dari seorang
guru pada muridnya, dalam perjalanan pergi menuju lokasi perlombaan, sapatah
katapun tak keluar dari bibir Husin, ia terus menjaga martabatnya, ia selalu
berpikir tentang moto hidupnya “HARGA DIRI TAK SEMURAH MAS MURNI”, perjalanan
itu terasa sedikit menggerahkan, wanita yang di bonceng Husin selalu berupaya
untuk memegang pinggangnya. Padahal Husin adalah tipe pria yang sangt penggeli,
maksud dari wanita itu sebenarnya baik, tapi dengan segera ia menyadari bahwa
Husin tak tahan terhadap geli.
Setibanya
Husin di tempat perlombaan, masing-masing kelompok telah mempersiapkan bahan
yang akan di gunakan. Saya sangat terkecut, ketika melihat para musuhnya
ternyata sangat formal dan meyakinkan, tampak agak sedikit pesimis pada muka
ust Samsul. Semua peserta menggunakan seragam yang meyakinkan, sedangkan Husin
tampil apa adanya. Mereka tampil dengan pemimbing yang ahli di bidang memasak,
sedangkan Husin hanya mempunyai 3 orang yang ahli di lain bidang. Mereka tampil
dengan peralatan canggih dan lengkap, sedangkan Husin hanya membawa panci
penyot dan piring.
Semua
itu Husin lewati dengan penuh happy kecuali ust Samsul, ia tampak sedikit pucat
memikirkan persiapan lawannya. Sebelum memulai perlombaan masing-masing 5
peserta dan 1 pemimbing diperintahan untuk bersiap-siap pada tempatnya. Seluruh
panitia menyediakan peralatan untuk peserta, disamping panitia menyiapkan alat
perlombaan, dewan juri membacakan krateria penilaian dengan singkat. Seorang
panitia yang memeriksa peralatan kompor Husin mengangkat tangan dan menyatakan
bahawa kompor kelompok 7 tidak bisa digunakan. Tak lama kemudian datang panitia
lain membawa kompor yang hampir sama dan mencoba kembali tuk menghidupkan,
ternyata kompor itu bisa hidup tapi tak bisa mati, gas yang begitu kencang
mengeluarkan api yang besar, semua panitia, peserta, maupun dewan juri dengan
segera memadamkan api tersebut yang pada akhirnya Husin memakai kompor yang
paling terakhir.
Meskipun
kompor terakhir, tapi terlihat masih seperti baru, baru mau rusak. Rasa percaya
diri ust Samsul semakin menghilang tapi, terlihat sebaliknya, anak didiknya
begitu semangat. Perlombaan di mulai, semua memulai menghidupkan api, memasak,
mengeluarkan bumbu yang ada. Terlihat kelompok ust Samsul yang paling
sederhana, mereka hanya mengeluarkan panci hitam yang sudah penyot, sebungkus
mi kuah, dan beberapa butir telur. Dengan durasi waktu 45 menit semua kelompok
berusaha bekerja sama, dan saling tolog menolong. Singkat kata singkat cerita,
45 menit terasa begitu cepat, semua kelompok dipersilahkan untuk
mempersembahkan masakannya kepada dewan juri.
Setiap
kelompok mempersembahkan masakan yang terakreditasi dan mempesona, semua
berkelas dan layak di tampilkan di lestoran. Sampai tiba pada kelompok ust
Samsul, terlihat senyum kecil kece dari dewan juri, terlihat sosis yang di
gulung dengan telur dan mie gosong, berbaris seperti kuburan cina, terdengar
oleh peserta “rasanya enak, penataanya rapi, semangatnya oke, dan kekompakannya
bagus”, seakan-akan tidak ada cela pada masakan itu, tapi Husin semua sadar,
itu hanya sekedar penenang agar tidak kecewa terhadap masakan yang telah susah
paya di masak.
Pengumuman
juara dipanggil satu-persatu, tentu kelompak ust Samsul tidak menjadi juara “tenang
aja kita itu juara 4, tapi karena gak ada juara 4 kita tak di panggil”, ucapku
menyemangati. Setelah penilaian dewan juri semua pembimbing membareskan
perlengkapan memasaknya. Berbeda dengan Husin, wanita-wanita iitu membereskan
sendiri alatnya tanpa meminta bantuan kepada ust Samsul. Terlihat dewan juri
mengarah kepada Husin dan mengangkat kedua jempol mereka. Setidaknya kejadian
tadi membuat Ust samsul sedikit legah dan senang, senyuman yang tadi sempat
senyap kini timbul kembali.
Di
jalan menuju pulang, ust Samsul menyuruh Husin untuk mengembalikan wanita-wanita
itu kembali pada rumahnya. Seorang wanita yang terlihat begitu manis, kulit
putih bercahaya, hidung mancung memanjang, bibir tipis berwarna ping lembut. Ia
menaiki motor Husin dengan segera dan meminta untuk mengantarkannya kerumah. Diperjalanan
Husin banyak berbicara, sepertinya Husin mulai akrab dengan wanita itu.
Perjalanan
menjadi begitu singkat, tak terasa perjalanan satu setengah jam itu terasa
seperti beberapa menit. Sesampai di rumah wanita itu mengkecup pipi Husin
dengan cepat dan menyampaikan terima kasihnya atas semua yang telah Husin
berikan padanya, seketika itu muka Husin memerah, pikirannya melayang entah
kemana, tak sempat memikirkan apa-apa ia segera memutar motornya untuk
melanjutkan perjalanan pulang dan menuliskan kisah ini.
*Wanita itu bernama fatimah,
salah satu murid TPA ust Samsul yang usianya berkisar 6 hingga 7 tahun.